Woensdag 15 Junie 2016

Kelana #Part1

Belajar ikhlas dan terus berjalan.
Kisah tentang seorang anak laki-laki yang berkelana mencari jati diri dan berangkat dari serba keterbatasan yang dia miliki. Gading namanya, sejak kecil tepatnya umur 3 tahun dia sudah merasakan bagaimana rasanya hidup menjalani hari-hari tidak bersama seorang ayah. Pada saat itu orang tuanya memutuskan untuk bercerai, entah apa penyebabnya seorang Gading pada masa itu hanyalah anak kecil yang tidak paham arti perpisahan. Dia diasuh oleh ibunya karena saat kejadian perceraian ibunya yang meminta supaya gading ikut bersamanya. Seorang Gading adalah anak yang lugu dan begitu polos, hari demi hari dilewati bersama ibunya dan juga kakek neneknya yang kebetulan tinggal satu atap rumah. Keluarga kecil yang ini hidup rukun dan damai tentunya dengan segala kekurangan, sampai pada saatnya Gading sudah menginjak usia 5 tahun dan harus segera bersekolah. Tepat di umur yang ke 5, datang seorang laki-laki duda yang berniat menikahi ibunya yang sudah menjanda selama 2 tahun lebih. Tidak lama dari masa perkenalan akhirnya ibunya dilamar oleh laki-laki yang sudah siap menerima keluarga Gading dengan segala keadaan.
Tepat hari pertama Gading masuk sekolah (taman kanak-kanak), dia sudah memiliki seorang ayah. Tidak ada perasaan aneh kala itu yang dirasakan Gading dan keluarganya, mereka hanya bisa bersyukur karena sudah memiliki anggota keluarga baru yang siap jadi tulang punggung keluarga. Setiap hari Gading berangkat sekolah diantar ibunya, dan ayahnya yang sekarang bekerja sebagai sopir truk. 3 tahun setelah pernikahan orang tuanya, Gading memiliki seorang adik perempuan yang namanya Bunga. Keluarga menyambut haru dan bahagia akan lahirnya Bunga, kini mereka punya anggota keluarga baru lagi. Keluarga kecil ini hidup dengan damainya sampai saatnya tiba, kebiasaan dan hobi ayahnya yang tidak baik muncul dan tentunya kurang disetujui keluarga. Ayah Gading sering pulang larut malam ketika pulang kerja, sampai akhirnya ketahuan bahwa dia masih punya kebiasaan berjudi. Kebiasaan ini dibawa dari waktu muda dan sampai sekarang belum bisa mengakhiri. Keluarga yang awalnya harmonis berubah menjadi sering bertengkar antara ibu dan ayahnya. Ibu Gading tidak pernah setuju jika kebiasaan ayahnya masih dilakukan. Beragam cara ditempuh ibunya supaya ayah Gading berhenti bermain judi, tapi apa daya kebiasaan yang sudah melekat pada ayahnya susah dihilangkan.
Berjalan 7 tahun rumah tangga ini, dan gading sudah menginjak kelas 1 SMP dan adiknya yang sudah berusia 4 tahun. Dia dan ibunya masihlah seorang pasangan ibu dan anak yang sederhana, tidak ada perbedaan kehidupan yang signifikan meskipun mereka sudah memiliki sosok pahlawan rumah tangga. Ayah tirinya begitu menyayangi Gading dan sudah menganggap seperti anak kandung. Lagi-lagi kebiasaan buruk sang ayah yang sudah semakin parah menjadi pemicu keluarga ini dan tidak luput dari pertengkaran. Gading dan adiknya sering menjadi korban saat adu mulut. Seorang Gading dan Bunga hanyalah anak kecil yang sepatutnya tidak dipertontonkan dengan pertengkaran apalagi oleh orang tuanya sendiri. Pertengkaran dan kembali baik kemudian bertengkar lagi sudah menjadi tontonan Gading dan adiknya di rumah. Tepat sudah Gading kelas 3 SMP, ayahnya tertangkap tangan oleh polisi sedang bermain judi. Keadaan yang semakin membuat keluarga menjadi cibiran banyak orang, ayah Gading dipenjara dan harus menghabiskan waktunya di balik jeruji besi. Ibu gading sangat terpukul dengan kejadian itu dan harus memikirkan bagaimana menghidupi keluarga dan anak-anaknya. Sanak saudara berdatangan dan memberikan semangat untuk ibu Gading supaya tetap tegar menghadapi cobaan yang bertubi-tubi. Gading dan adiknya yang belum paham apapun sama pada saat Gading kecil yang ditinggal ayah kandungnya bercerai pada saat usia 3 tahun, mereka menangis terseduh di kamar saat mendengar ayahnya dipenjara. Keluarga kecil ini tidak putus asa, mereka semakin erat dan semakin sayang satu sama lain, saling menguatkan. Mereka yakin dengan datangnya masalah, rasa memiliki akan semakin tumbuh. Kabar ayahnya dipenjara sudah meyebar dan sampai ke telinga teman-teman Gading di sekolah, setiap hari ada saja yang mencemooh dan menjadikan bahan gunjingan untuk Gading. Begitu banyak masalah keluarga yang sudah dirasakan Gading dari kecil sampai sudah mau lulus SMP. Lingkungan sudah membentuk karakter Gading dan adiknya yang berakibat pada sifat dan karakter di sekolah. Mereka sering murung dan jarang bergaul denga teman sebayanya. Hari terus berjalan, Gading dan ibunya serta keluarga sudah tidak asing lagi dengan cibiran tetangga sampai saatnya yang ditunggu telah tiba dimana sang ayah sudah akan dibebaskan. Begitu senangnya keluarga ini dan harus bersiap-siap untuk menjemput orang kebanggaan mereka di Lembaga Pemasyarakatan. Dunia serasa berputar lagi dan Gading begitu antusias ikut menjemput ayahnya.
Hari baru datang lagi, dan harapan baru ditata kembali oleh keluarga ini. Banyak kejadian yang sudah dilalui dan sudah seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi semuanya. Ayahnya sudah berjanji tidak akan mengulangi kebiasaan berjudi lagi, dia sudah berniat untuk taubat, senang mendengarnya “itulah yang dikatakan Gading kepada ibunya. Di usia yang ke 15 Gading sudah lulus SMP dan akan melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, dia sudah masuk SMK yang jaraknya 8 kilometer dari rumahnya. Gading masuk sekolah menengah kejuruan dengan jalur tes, dan sungguh diluar dugaan seorang gading menjadi calon siswa dengan nilai terbaik dari hasil tes. Ibu dan ayahnya kala itu sangat senang karena dengan segala keterbatasan yang dimiliki anaknya, tapi bisa menjadi siswa yang cukup membanggakan. Dia dihadiahkan sebuah motor oleh ayahnya sebagai kendaraan berangkat ke sekolah. Sementara adiknya masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 1. Ibunya begitu mencintai keluarga kecil yang sederhana ini.
Berjalan hampir satu tahun masalah besar melanda lagi dan disebabkan oleh sang ayah. Kala itu di pagi hari ibu Gading menemukan secarik kertas di dompet ayahnya yang isinya dari seorang wanita yang minta dinikahi oleh ayah Gading, ibunya begitu terpukul dan langsung bercerita dengan Gading mengenai sesuatu yang baru saja ditemukan. Ibu Gading tidak langsung bertanya pada suaminya tentang apa yang baru saja ditemukan, tapi lebih memilih memendam karena lebih mementingkan nasib anak-anaknya. Tidak apa-apa bagi seorang ibu dikhianati suaminya asalkan nafkah untuk anak-anaknya tetap diperhatikan, itulah yang dikatakan Ibunya kepada Gading. Saat itu usia Gading sudah cukup dewasa untuk diajak berdiskusi tentang masalah keluarga yang sedang dihadapi. Usia yang muda dan labil, Gading sudah menjadi anak yang sudah dibentuk karakter lingkungan dan sekarang ditambah dengan masalah yang menyangkut nasib ibu dan keluarganya, dia lantas tidak menjadi anak yang nakal dan membangkang melainkan anak yang pendiam dan suka murung. Hingga pada saatnya ayah Gading pergi meninggalkan rumah tanpa alasan dan tidak ada kabar lagi, ibunya sudah menduga jika suaminya itu sudah terpengaruh dengan wanita lain dan memutuskan untuk pergi dari rumah. Hari serasa gelap tanpa cahaya setitikpun “kata ibu Gading kepada keluarga yang berdatangan karena mendengar kabar perginya ayah Gading”. Menangis dan menangis yang bisa dilakukan ibunya saat itu, Gading tetap diam dan berusaha membujuk adiknya yang kala itu sering menangis karena ingin bertemu ayahnya. Gading sempat bilang sama ibunya kalau dia tidak akan melanjutkan sekolah dan akan ikut membantu keluarga mencari nafkah. Ibunya melarang dan tetap memberi semangat supaya Gading tetap bersekolah apapun keadaanya.
Berjalan beberapa hari, mereka memutuskan untuk membuka warung makan untuk mencari nafkah. Roda benar-benar telah berputar, masalah begitu banyak melanda dan silih berganti. Gading tetap semangat menjalani hari bersama ibu, adik, dan juga kakek neneknya, sebelum berangkat sekolah dia menyempatkan membantu ibunya membuka warung dan pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan warung. Tidak tampak lagi kemurungan dan isinya hanya keceriaan yang diciptakan dari keluarga ini dengan segala kekurangan. Sudah 7 bulan ayahnya pergi dan ibu Gading sudah mengurus ke Pengadilan mengenai nasib keluarga dan status pernikahannya dengan suaminya. Berbagai prosedur sudah dijalankan dan pihak Pengadilan memutuskan bahwa ibu Gading sudah resmi bercerai dengan suaminya yang sudah pergi meninggalkannya. Tidak lama setelah itu datang lagi seorang duda yang siap menikahi ibu Gading, tapi tidak mudah menaklukkan hati yang sudah berkali-kali merasakan sakit “kata ibu Gading”. Banyak pertimbangan dan masukan dari keluarga yang menyarankan beliau untuk menikah supaya ada yang mencarikan nafkah. Akhirnya Gading memiliki ayah baru lagi setelah ibunya resmi menikah dengan laki-laki yang sebetulnya sudah dikenal oleh salah satu sanak saudaranya.
Gading dan adiknya berusaha menerima hadirnya orang baru yang berstatus ayah, untuk adiknya mungkin mudah karena masih kecil dan bisa pelan-pelan diajarkan manggil ayah tapi untuk Gading ini sangat sulit. Gading terus bepergian ke tempat-tempat pondokan hanya untuk mencari seseorang yang bisa membantu dirinya menerima ayah barunya. Banyak penceramah dan ustadz yang didatangi untuk mencari pencerahaan. Sampai saatnya Gading benar-benar bisa seperti adiknya yang dengan sangat mudah memanggil ayah meskipun keduanya sama-sama bukan anak kandung.
Tidak lama dan berjalan beberapa tahun kali ini ayah barunya meminta supaya keluarga mau diajak pindah rumah dan tinggal di tempat kelahirannya. Ibunya setuju dan memutuskan untuk ikut karena beranggapan dengan pindah rumah mungkin akan merubah nasib keluarganya. Gading yang kala itu masih sekolah memilih untuk tetap tinggal di rumah lama bersama kakek neneknya, karena alasan sudah betah di rumah lama dan kasihan jika ikut pindah dan harus meninggalkan kakek nenek. Dilema yang dirasakan ibunya, karena Gading adalah anak yang sangat disayangi. Sempat terbesit untuk dibatalkan pindah rumah dan tetap tinggal di rumah lama, tapi Gading berusaha meyakinkan ibunya kalau dia akan baik-baik saja meskipun tinggal bersama kakek nenek dan akhirnya ibu dan adiknya yang ikut pindahan. Jika pada saat libur sekolah dan rindu orang tuanya, Gading menyempatkan untuk datang ke rumah ayahnya dan langsung balik karena dia tidak betah tinggal di rumah dan lingkungan baru.
Hingga pada suatu hari Gading sudah lulus SMK dan menjadi 5 siswa pilihan terbaik yang ditawarkan bekerja di Jakarta oleh BUMN. Gading cukup pintar di sekolah meskipun punya kisah kelam bersama keluarganya. Boleh aku miskin, boleh aku nakal, tapi aku tidak boleh bodoh “tegas Gading yang menanamkan semangat untuk dirinya sendiri”. Setahun kemudian dia mendengar jika ayah barunya akan mencalonkan diri sebagai kepala desa di kampungnya sana, sontak kebahagiaan terpancar di muka Gading. Meskipun baru calon dan belum pasti terpilih, tapi seorang Gading tetap bangga dengan ayah barunya yang mungkin akan bisa membawa nasib dan perubahan baik bagi keluarganya terutama untuk ibu dan adiknya. Karena berkat usaha dan tentunya rahmat Allah, Gading sekarang menjadi seorang anak kepala desa, ayahnya terpilih menjadi kades. Sedangkan Gading sudah bekerja di perusahaan yang cukup ternama ditambah lagi dia sudah bisa membantu ibunya dengan memberikan sedikit uang hasil kerjanya. 3 tahun kemudian Gading memutuskan untuk kuliah dengan biaya sendiri. Adiknya, Bunga sekarang sudah duduk di bangku SMP dan ditambah adik baru lagi yang masih kecil, Adam namanya.
Gading beranggapan jika nasib dan kebahagiaan kita, adalah kita yang mengusahakan dan selebihnya biarkan Tuhan yang menjalankan porsinya. Sejak saat itu keluarga ini hidup dengan damai dan tentunya dengan kesederhanaan yang dimiliki. Gading tetap fokus karir dan studinya, sementara ibu dan ayahnya fokus dengan tanggungjawab yang sudah diemban di rumah dan lingkungan baru.
 
--o0o--
 
 
 
Based of True Story ..

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking