Belajar ikhlas dan terus berjalan.
Kisah tentang
seorang anak laki-laki yang berkelana mencari jati diri dan berangkat dari
serba keterbatasan yang dia miliki. Gading namanya, sejak kecil tepatnya umur 3
tahun dia sudah merasakan bagaimana rasanya hidup menjalani hari-hari tidak
bersama seorang ayah. Pada saat itu orang tuanya memutuskan untuk bercerai,
entah apa penyebabnya seorang Gading pada masa itu hanyalah anak kecil yang
tidak paham arti perpisahan. Dia diasuh oleh ibunya karena saat kejadian
perceraian ibunya yang meminta supaya gading ikut bersamanya. Seorang Gading
adalah anak yang lugu dan begitu polos, hari demi hari dilewati bersama ibunya
dan juga kakek neneknya yang kebetulan tinggal satu atap rumah. Keluarga kecil
yang ini hidup rukun dan damai tentunya dengan segala kekurangan, sampai pada
saatnya Gading sudah menginjak usia 5 tahun dan harus segera bersekolah. Tepat
di umur yang ke 5, datang seorang laki-laki duda yang berniat menikahi ibunya
yang sudah menjanda selama 2 tahun lebih. Tidak lama dari masa perkenalan
akhirnya ibunya dilamar oleh laki-laki yang sudah siap menerima keluarga Gading
dengan segala keadaan.
Tepat hari
pertama Gading masuk sekolah (taman kanak-kanak), dia sudah memiliki seorang
ayah. Tidak ada perasaan aneh kala itu yang dirasakan Gading dan keluarganya,
mereka hanya bisa bersyukur karena sudah memiliki anggota keluarga baru yang
siap jadi tulang punggung keluarga. Setiap hari Gading berangkat sekolah
diantar ibunya, dan ayahnya yang sekarang bekerja sebagai sopir truk. 3 tahun
setelah pernikahan orang tuanya, Gading memiliki seorang adik perempuan yang
namanya Bunga. Keluarga menyambut haru dan bahagia akan lahirnya Bunga, kini
mereka punya anggota keluarga baru lagi. Keluarga kecil ini hidup dengan
damainya sampai saatnya tiba, kebiasaan dan hobi ayahnya yang tidak baik muncul
dan tentunya kurang disetujui keluarga. Ayah Gading sering pulang larut malam
ketika pulang kerja, sampai akhirnya ketahuan bahwa dia masih punya kebiasaan
berjudi. Kebiasaan ini dibawa dari waktu muda dan sampai sekarang belum bisa
mengakhiri. Keluarga yang awalnya harmonis berubah menjadi sering bertengkar
antara ibu dan ayahnya. Ibu Gading tidak pernah setuju jika kebiasaan ayahnya
masih dilakukan. Beragam cara ditempuh ibunya supaya ayah Gading berhenti
bermain judi, tapi apa daya kebiasaan yang sudah melekat pada ayahnya susah
dihilangkan.
Berjalan 7 tahun
rumah tangga ini, dan gading sudah menginjak kelas 1 SMP dan adiknya yang sudah
berusia 4 tahun. Dia dan ibunya masihlah seorang pasangan ibu dan anak yang
sederhana, tidak ada perbedaan kehidupan yang signifikan meskipun mereka sudah
memiliki sosok pahlawan rumah tangga. Ayah tirinya begitu menyayangi Gading dan
sudah menganggap seperti anak kandung. Lagi-lagi kebiasaan buruk sang ayah yang
sudah semakin parah menjadi pemicu keluarga ini dan tidak luput dari
pertengkaran. Gading dan adiknya sering menjadi korban saat adu mulut. Seorang
Gading dan Bunga hanyalah anak kecil yang sepatutnya tidak dipertontonkan
dengan pertengkaran apalagi oleh orang tuanya sendiri. Pertengkaran dan kembali
baik kemudian bertengkar lagi sudah menjadi tontonan Gading dan adiknya di
rumah. Tepat sudah Gading kelas 3 SMP, ayahnya tertangkap tangan oleh polisi
sedang bermain judi. Keadaan yang semakin membuat keluarga menjadi cibiran
banyak orang, ayah Gading dipenjara dan harus menghabiskan waktunya di balik
jeruji besi. Ibu gading sangat terpukul dengan kejadian itu dan harus
memikirkan bagaimana menghidupi keluarga dan anak-anaknya. Sanak saudara
berdatangan dan memberikan semangat untuk ibu Gading supaya tetap tegar menghadapi
cobaan yang bertubi-tubi. Gading dan adiknya yang belum paham apapun sama pada
saat Gading kecil yang ditinggal ayah kandungnya bercerai pada saat usia 3
tahun, mereka menangis terseduh di kamar saat mendengar ayahnya dipenjara.
Keluarga kecil ini tidak putus asa, mereka semakin erat dan semakin sayang satu
sama lain, saling menguatkan. Mereka yakin dengan datangnya masalah, rasa
memiliki akan semakin tumbuh. Kabar ayahnya dipenjara sudah meyebar dan sampai
ke telinga teman-teman Gading di sekolah, setiap hari ada saja yang mencemooh
dan menjadikan bahan gunjingan untuk Gading. Begitu banyak masalah keluarga
yang sudah dirasakan Gading dari kecil sampai sudah mau lulus SMP. Lingkungan
sudah membentuk karakter Gading dan adiknya yang berakibat pada sifat dan
karakter di sekolah. Mereka sering murung dan jarang bergaul denga teman
sebayanya. Hari terus berjalan, Gading dan ibunya serta keluarga sudah tidak
asing lagi dengan cibiran tetangga sampai saatnya yang ditunggu telah tiba
dimana sang ayah sudah akan dibebaskan. Begitu senangnya keluarga ini dan harus
bersiap-siap untuk menjemput orang kebanggaan mereka di Lembaga Pemasyarakatan.
Dunia serasa berputar lagi dan Gading begitu antusias ikut menjemput ayahnya.
Hari baru datang
lagi, dan harapan baru ditata kembali oleh keluarga ini. Banyak kejadian yang
sudah dilalui dan sudah seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi semuanya.
Ayahnya sudah berjanji tidak akan mengulangi kebiasaan berjudi lagi, dia sudah
berniat untuk taubat, senang mendengarnya “itulah yang dikatakan Gading kepada
ibunya. Di usia yang ke 15 Gading sudah lulus SMP dan akan melanjutkan ke
sekolah yang lebih tinggi, dia sudah masuk SMK yang jaraknya 8 kilometer dari
rumahnya. Gading masuk sekolah menengah kejuruan dengan jalur tes, dan sungguh
diluar dugaan seorang gading menjadi calon siswa dengan nilai terbaik dari
hasil tes. Ibu dan ayahnya kala itu sangat senang karena dengan segala
keterbatasan yang dimiliki anaknya, tapi bisa menjadi siswa yang cukup
membanggakan. Dia dihadiahkan sebuah motor oleh ayahnya sebagai kendaraan
berangkat ke sekolah. Sementara adiknya masih duduk di bangku sekolah dasar
kelas 1. Ibunya begitu mencintai keluarga kecil yang sederhana ini.
Berjalan hampir
satu tahun masalah besar melanda lagi dan disebabkan oleh sang ayah. Kala itu
di pagi hari ibu Gading menemukan secarik kertas di dompet ayahnya yang isinya
dari seorang wanita yang minta dinikahi oleh ayah Gading, ibunya begitu
terpukul dan langsung bercerita dengan Gading mengenai sesuatu yang baru saja
ditemukan. Ibu Gading tidak langsung bertanya pada suaminya tentang apa yang
baru saja ditemukan, tapi lebih memilih memendam karena lebih mementingkan nasib
anak-anaknya. Tidak apa-apa bagi seorang ibu dikhianati suaminya asalkan nafkah
untuk anak-anaknya tetap diperhatikan, itulah yang dikatakan Ibunya kepada
Gading. Saat itu usia Gading sudah cukup dewasa untuk diajak berdiskusi tentang
masalah keluarga yang sedang dihadapi. Usia yang muda dan labil, Gading sudah
menjadi anak yang sudah dibentuk karakter lingkungan dan sekarang ditambah
dengan masalah yang menyangkut nasib ibu dan keluarganya, dia lantas tidak
menjadi anak yang nakal dan membangkang melainkan anak yang pendiam dan suka
murung. Hingga pada saatnya ayah Gading pergi meninggalkan rumah tanpa alasan dan
tidak ada kabar lagi, ibunya sudah menduga jika suaminya itu sudah terpengaruh
dengan wanita lain dan memutuskan untuk pergi dari rumah. Hari serasa gelap
tanpa cahaya setitikpun “kata ibu Gading kepada keluarga yang berdatangan
karena mendengar kabar perginya ayah Gading”. Menangis dan menangis yang bisa
dilakukan ibunya saat itu, Gading tetap diam dan berusaha membujuk adiknya yang
kala itu sering menangis karena ingin bertemu ayahnya. Gading sempat bilang
sama ibunya kalau dia tidak akan melanjutkan sekolah dan akan ikut membantu
keluarga mencari nafkah. Ibunya melarang dan tetap memberi semangat supaya
Gading tetap bersekolah apapun keadaanya.
Berjalan beberapa
hari, mereka memutuskan untuk membuka warung makan untuk mencari nafkah. Roda
benar-benar telah berputar, masalah begitu banyak melanda dan silih berganti.
Gading tetap semangat menjalani hari bersama ibu, adik, dan juga kakek
neneknya, sebelum berangkat sekolah dia menyempatkan membantu ibunya membuka
warung dan pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan warung. Tidak tampak lagi
kemurungan dan isinya hanya keceriaan yang diciptakan dari keluarga ini dengan
segala kekurangan. Sudah 7 bulan ayahnya pergi dan ibu Gading sudah mengurus ke
Pengadilan mengenai nasib keluarga dan status pernikahannya dengan suaminya.
Berbagai prosedur sudah dijalankan dan pihak Pengadilan memutuskan bahwa ibu
Gading sudah resmi bercerai dengan suaminya yang sudah pergi meninggalkannya.
Tidak lama setelah itu datang lagi seorang duda yang siap menikahi ibu Gading,
tapi tidak mudah menaklukkan hati yang sudah berkali-kali merasakan sakit “kata
ibu Gading”. Banyak pertimbangan dan masukan dari keluarga yang menyarankan
beliau untuk menikah supaya ada yang mencarikan nafkah. Akhirnya Gading
memiliki ayah baru lagi setelah ibunya resmi menikah dengan laki-laki yang
sebetulnya sudah dikenal oleh salah satu sanak saudaranya.
Gading dan
adiknya berusaha menerima hadirnya orang baru yang berstatus ayah, untuk
adiknya mungkin mudah karena masih kecil dan bisa pelan-pelan diajarkan manggil
ayah tapi untuk Gading ini sangat sulit. Gading terus bepergian ke
tempat-tempat pondokan hanya untuk mencari seseorang yang bisa membantu dirinya
menerima ayah barunya. Banyak penceramah dan ustadz yang didatangi untuk
mencari pencerahaan. Sampai saatnya Gading benar-benar bisa seperti adiknya
yang dengan sangat mudah memanggil ayah meskipun keduanya sama-sama bukan anak
kandung.
Tidak lama dan
berjalan beberapa tahun kali ini ayah barunya meminta supaya keluarga mau
diajak pindah rumah dan tinggal di tempat kelahirannya. Ibunya setuju dan
memutuskan untuk ikut karena beranggapan dengan pindah rumah mungkin akan
merubah nasib keluarganya. Gading yang kala itu masih sekolah memilih untuk
tetap tinggal di rumah lama bersama kakek neneknya, karena alasan sudah betah
di rumah lama dan kasihan jika ikut pindah dan harus meninggalkan kakek nenek.
Dilema yang dirasakan ibunya, karena Gading adalah anak yang sangat disayangi.
Sempat terbesit untuk dibatalkan pindah rumah dan tetap tinggal di rumah lama,
tapi Gading berusaha meyakinkan ibunya kalau dia akan baik-baik saja meskipun
tinggal bersama kakek nenek dan akhirnya ibu dan adiknya yang ikut pindahan.
Jika pada saat libur sekolah dan rindu orang tuanya, Gading menyempatkan untuk
datang ke rumah ayahnya dan langsung balik karena dia tidak betah tinggal di
rumah dan lingkungan baru.
Hingga pada suatu
hari Gading sudah lulus SMK dan menjadi 5 siswa pilihan terbaik yang ditawarkan
bekerja di Jakarta oleh BUMN. Gading cukup pintar di sekolah meskipun punya kisah
kelam bersama keluarganya. Boleh aku miskin, boleh aku nakal, tapi aku tidak
boleh bodoh “tegas Gading yang menanamkan semangat untuk dirinya sendiri”.
Setahun kemudian dia mendengar jika ayah barunya akan mencalonkan diri sebagai
kepala desa di kampungnya sana, sontak kebahagiaan terpancar di muka Gading.
Meskipun baru calon dan belum pasti terpilih, tapi seorang Gading tetap bangga
dengan ayah barunya yang mungkin akan bisa membawa nasib dan perubahan baik
bagi keluarganya terutama untuk ibu dan adiknya. Karena berkat usaha dan
tentunya rahmat Allah, Gading sekarang menjadi seorang anak kepala desa,
ayahnya terpilih menjadi kades. Sedangkan Gading sudah bekerja di perusahaan
yang cukup ternama ditambah lagi dia sudah bisa membantu ibunya dengan memberikan
sedikit uang hasil kerjanya. 3 tahun kemudian Gading memutuskan untuk kuliah
dengan biaya sendiri. Adiknya, Bunga sekarang sudah duduk di bangku SMP dan
ditambah adik baru lagi yang masih kecil, Adam namanya.
Gading beranggapan
jika nasib dan kebahagiaan kita, adalah kita yang mengusahakan dan selebihnya
biarkan Tuhan yang menjalankan porsinya. Sejak saat itu keluarga ini hidup dengan
damai dan tentunya dengan kesederhanaan yang dimiliki. Gading tetap fokus karir
dan studinya, sementara ibu dan ayahnya fokus dengan tanggungjawab yang sudah
diemban di rumah dan lingkungan baru.
--o0o--
Based
of True Story ..
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking