Kisah
Usang
Siulan burung di pelataran rumah menjadi teman semangat di pagi hari ini. Bergegas rasa ingin segera mengayunkan langkah menuju hamparan padi di sawah peninggalan mendiang orang tua. Tidak pernah terbesit rasa bosan dan ingin merubah profesi pekerjaan, karena menjadi petani adalah cara terbaik memilih pekerjaan setelah semuanya runtuh. Namaku Pamungkas, aku seorang petani yang dulunya adalah seorang manajer di salah satu perusahaan swasta terkenal di Jakarta, aku asli dari Wonosobo Jawa Tengah. Bergelimang harta sudah pernah aku rasakan kala itu masih berjaya, sekarang aku hanya seorang petani padi yang hidup di tanah kelahiran, tanah warisan sekaligus tanah penuh kenangan pada saat kedua orang tuaku masih hidup. Awalnya aku sangat tidak suka menjadi petani, selain karena dari kecil tidak pernah bantu orang tua di sawah, sejak lulus kuliah aku langsung mengadu nasib di ibukota. Saat di kampung aku pernah diremehkan dan dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitar rumah, hal ini yang membuatku nekat mengadu nasib di Jakarta.
Kehidupan kota yang mengajariku menjadi orang yang kuat menghadapi berbagai masalah hidup, dan di kota lah aku mendapatkan posisi pekerjaan yang cukup bisa dibanggakan. Delapan tahun lamanya aku bekerja di Jakarta dan berjalan lima tahun menjadi seorang manajer. Jabatan yang bagus sempat membuatku menjadi orang yang lupa asal usul dan tidak tahu diri, banyak pengaruh kehidupan kota yang merubah sikap dan karakter. Berbagai kegiatan yang melanggar norma agama sering aku lakukan, mulai dari wanita dan minuman keras. Sebenarnya gaji seorang manajer tidaklah begitu besar tapi karena aku sering melakukan manipulasi data untuk mencari keuntungan pribadi, dari sanalah uang dengan mudah aku dapatkan. Dalam hati ini tahu jika yang aku lakukan adalah salah, tapi pikiran dan ambisi ditambah pengaruh pergaulan yang salah menjadikan aku tetap melakukan korupsi di perusahaan.
Kehidupan yang serba berkecukupan lantas tidak membuatku lupa sama kewajiban mengirim jatah untuk orang tua di kampung, meskipun yang aku kirimkan adalah uang hasil korupsi. Berjalan dua tahun aku menjadi seorang manajer dan aku masih melakukan manipulasi anggaran perusahaan. Sampai pada saatnya aku sering sakit-sakitan dan sering mengalami kesialan. Banyak juga masalah yang datang dari rumah dan harus aku yang membereskan. Sebagian besar masalah yang datang selalu selesai dengan cara uang, bukan dengan solusi terbaik. Sanak saudara di kampung juga banyak yang bergantung denganku ketika mereka mendapat musibah, dan lagi-lagi semua balik lagi dengan yang namanya uang. Aku tidak pernah keberatan dengan memberi mereka uang karena sudah tahu kemana akan mencarinya dengan mudah.
Sampai akhirnya aku berada pada titik jenuh dan kebosanan. Dalam hati bertanya “kemana larinya uang-uang yang aku kumpulkan selama ini ?”. Mulai dari ditipu partner kerja, dikhianati wanita sampai sakit yang datang bertubi-tubi setiap tahun. Sahabatku tahu persis apa kegiatanku di kantor, dan dia memberi nasehat bahwa uang yang dikumpulkan dengan cara tidak baik tidak akan pernah jadi baik meskipun digunakan untuk kebaikan. Dari situ aku mulai terenyuh dan berfikir bahwa selama ini aku sudah bermain dengan uang dan menipu perusahaan yang sudah jelas memberiku kepercayaan.
Hari tetap berjalan dan pada masanya aku dapat kabar bahwa ibuku meninggal dunia karena sakit, ironisnya tidak berselang lama ayahku meninggal juga karena sakit tahunan. Terpukul dan hancur rasanya perasaan dan pikiran ini ditinggal kedua orang tua untuk selamanya. Begitu berat cobaan ini Tuhan, itulah yang bisa aku dengungkan setiap malam. Sahabatku berkata bahwa ini adalah takdir yang memang sudah direncanakan, tugas kita sebagai anak adalah mendoakan orang tua yang sudah meninggal. Keterpurukan ini lantas tidak membuatku menyerah, aku terus bangkit dan mencoba memperbaiki haluan hidup. Aku memutuskan untuk resign dari perusahaan dan memilih bekerja dan tinggal di kampung halaman. Alhamdulillah aku dapat sebidang tanah peninggalan mendiang ayah yang bisa aku jadikan ladang untuk bekerja. Sungguh langkah dan pengalaman yang sangat mendidik tatkala aku masih di perantauan, kehidupan yang diluar kebiasaan orang normal dan pengaruh lingkungan yang kurang baik dapat mempengaruhi kepribadian seseorang.
Di kampung sudah kini aku tinggal, aku bangga dengan pekerjaanku yang sekarang menjadi seorang petani karena dulunya ayahku juga seorang petani. Dari hasil keringat ayahku lah aku bisa disekolahkan sampai kuliah dan akhirnya bisa masuk perusahaan besar. Kini aku harus bisa membanggakan orang tuaku dengan ikut menjadi seorang petani, meskipun mereka hanya akan melihatku dari surga. Selamat tinggal ayah ibuk, tidur yang tenang di alam sana.
Based of true story. ( Raden K. Wonosobo )
#Cerpen.Renungan
Gubahan_S